Wednesday, September 12, 2012

Mawar


 
Aku menemukan sebuah tanaman bernama mawar. di sebuah padang gersang.
Aku melihatnya, terabaikan tanpa dipedulikan.
Aku melihatnya, tersiksa dikelilingi inang.
Aku melihatnya, sendiri tanpa kawan.
Aku melihat tangkainya, terluka terkena injakkan domba.
Aku melihat daunnya, sakit digerogoti sang tungau .

Aku mencari dimana letak matanya.
Akan kuhapus air matanya.
Aku mencari dimana letak lukanya.
Akan ku obati perihnya.
Aku mencari dimana tangannya.
Akan kurengkuh dan ku papah.
Aku mencari dimana telinganya.
Aku akan menyerukan semangat untk hidupnya.
Aku mencari dimana letak mulutnya.
Akan kutanya, siapa yang berani menanamnya di sini, dan mengapa ia meninggalkannya.

Aku memutuskan membawanya pulang.
Aku menjanjikkannya kehidupan baru.
Kupandangi mawar itu, dan membayangkan banyak rencana yang akan kulakukan pd mawar itu.
Membyangkan kehidupanya menjadi lebih segar jika ku pelihara.
Semua tersusun secara tersirat semua rencana, rapi.

Hari pertama.
Ku pindah ke dalam singgasana baru. Ku lakukan semua prosesi2 yang umum dilakukan. Menyiram, memupuk, meneduhkannya.
Hari kedua. Masih tampak layu, tapi kuyakin ia kuat.
Hari ketiga. Ia bangkit. Daunya hijau ranum terlahir kembali. Tangkainya tegak menegaskan ketegaran. Aku bahagia.
Hari ketujuh. Aku melihat kuncup harapan kecil mulai muncul. Tidak hanya satu, tapi dua, bahkan lebih. Ternyata ia memiliki bnyak impian. Dan setiap hari kutunggu mekarnya.
Hari kedelapan. Satu persatu kuncup itu mulai mewujudkan tujuanya. Menegaskan ketegasan keberanian hidup kembali.
Hari kesembilan,sepuluh,sebelas. Harapan terwujud semuanya. Merekah,membuat semuanya terkagum melihat kebangkitannya.
Hari keempat belas,limabelas. Aku mulai mengurangi waktuku untuk si mawar.
Aku hanya sesekali melihat keadaannya.
Baik..? Syukurlah,aku msh byk urusan.
Hari keduapuluh,duapuluhsatu. Kulihat dari kejauhan.
Tidak kepanasan?tidak kehujanan? Ya..sudahlah.

Hari ke duapuluhempat, duapuluh lima.
Kulihat ia layu dg sdikit warna kekeringan.
Ah.. Layu sdikit, malam nanti juga terkena embun. Biarlah..
Hari ke duapuluhtujuh,duapuluh delapan.
Aku melihatnya terjatuh dr singgasana,terkapar, tercecer, terinjak, menjadi bulan bulanan ayam.

Diam...

Ia mati.

Ternyata aku tak cukup pantas menjanjikan sebuah kehidupan yg lbh baik.
Sok tahu!
Aku melupakannya ditengah jalan.
Ku kira ia tegar, ternyata mash rapuh. Dia mash membuthknku. Dia tak sekuat itu. Aku memaksanya menjadi tegar. Tapi tak dpt dismbunyikan. Aku blm bisa merawatnya.
Aku hanya bisa memulai. Tak bisa menjaganya..

No comments:

Post a Comment