Tuesday, February 16, 2016

Hari yang Melelahkan

Namaku Ulfa, aku adalah siswi SMP yang biasa- biasa saja. Minggu ini adalah hari pertama masuk sekolah sehabis libur panjang. Pagi ini aku berangkat ke sekolah dengan malas. Tak punya daya rasaya, ku kayuh sepedaku pelan- pelan.
“Enakan di rumah, bisa tidur- tiduran, nonton tivi, ahh… nasib- nasib!” Aku masih menggumam.
Setelah sepuluh menit mengayuh sepeda akhirnya aku sampai di sekolah. Ternyata semua telah berkumpul. Mereka menyambutku, semua rasa malasku hilang berganti gembira. Ada Alif si seksi Keagamaan yang sedang sholat Dhuha. Widi dan Riski si bendahara yang sedang sibuk menagih kas kelas ala rentenir. Yoga si seksi olahraga yang sedang menceramahi kami tentang bahaya rokok ala orasi calon presiden. Juga si Iqbal ketua kelas yang super cerewet dan sok ngatur. Hanya aku yang tidak menguasai bidangku sendiri sebagai seksi kesenian, aku asyik berbicara dengan Atik si sekretaris tentang gosip terbaru di sekolah.
“Dimana Alif? Gak kecium baunya!” Tanyaku.
 “O… lagi menghadap yang kuasa?” Kataku.
“Meninggal jam berapa? Aku masih hutang seribu lima ratus ma dia, terus buku catetan agamanya masih ku pinjam, sepedanya barusan aku bocorin, gimana?” Tanyaku.
“Huss… bukan meniggal tapi lagi sholat Dhuha, gimana sih kaya gak tau aja tempat semedinya.” Jawabya.
“O… kirain is dead, terus Widi ma Riski mana?” Tanyaku lagi.
“Biasa juga, lagi nagih utang muter- muter kelas!” Jawabnya.
“Kalo Wicaksono?” Tanyaku lagi dan lagi.
“Nah dia lagi ngumpet di kamar mandi, takut ditagih Widi ma Riski!” Jawab Atik.
“Oalah… dodol semua!” Komentarku.
Aku melihat si Doni, siswa paling tampan di sekolah yang sedang tebar pesona kepada adik kelas.
“Dasar cowok, gak tau apa ada bidadari yang lagi duduk disini!” Ocehku kesal.
“Bidadari jatuh dari bajai?” Teriak Yoga.
“Sirik!” Kataku tidak terima.
Sambil menunggu jam pelajaran dimulai, kami berkumpul sembari bercanda, mulai dari meng-gosip guru sampai berbicara tentang Piala Champion. Kubu perempuan hanya terdiam tak tahu secuilpun tentang dunia sepak bola.
“Eh tahu gak, pak Hadi Fisika punya anak cowok lo… cakep banget namanya Anjar, masih SMA.”  Kata Widi memulai gosip kami.
“Alah cewek kebiasaanya gosip, sekali- kali tahu dong tentang olahraga!” Tantang Yoga.
“Nggosip kan juga olahrga!” Jawabku tak terima.
“Olahraga dari hongkong, apanya yang olahraga!” Wicaksono menyindir.
“Ya… olahraga mulut, olahraga telinga… komplit deh!” Jawabku percaya diri.
“Coba aku tes seberapa pengetahuanmu tentang dunia sepak bola, coba sebutkan apa saja yang kamu ketahui tentangnya!” Tantang Alif.
“Siapa takut, kita gak takut kan fren?” Jawabku meminta dukungan.
“Kalo gak salah Soni Dwi Kuncoro masuk TIMNAS kan? Laluuu Beni Dolo juga jadi striker!” Jawabku bangga.
“Ha...ha...ha...huhu... Ulfa sayang sekarang kamu pulang aja deh mandi, cuci kaki, minum susu, terus tidur deh ama mama.” Ledek kubu laki- laki.
“Emang kenapa? Ada yang salah? Jawab dong!” Aku kebingungan.
“Ulfa cantik, baik hati, soleha… tau gak kalo Soni Dwi Kuncoro itu pebulu tangkis, terus kalo Beni Dolo itu pelatih TIMNAS bukan striker, mengerti!” Jawab Alif bijaksana.
Aku merasa malu atas ke-soktahu-anku, tiba- tiba bel berbunyi menandakan waktunya pelajaran dimulai.
“Ulfa salam buat Soni Dwi Kuncoro ya!” Teriak Yoga meledekku sambil berjalan menuju tempat duduknya.
“Bodo!” Jawabku sinis.
Begitulah kami bercanda di sela- sela kesibukan kami belajar mempersiapkan Ujian Akhir. Mungkin aku akan sangat rindu jika suatu saat kami berpisah untuk studi lanjutan.

ŃŃŃŃŃ

Jarum jam berputar terasa sangat lambat saat kami sedang mendengarkan pelajaran sejarah. Bosan sekali mendengar cerita yang diulang- ulang dari kelas lima SD itu, temanya tentang Pembebasan Irian Barat.
“Kenapa ada pelajaran sejarah sih… membosankan!” Aku mengoceh dengan teman sebangku. Aku suka sekali duduk di pojok belakang, selain sejuk, kami juga sering membuat obrolan sendiri di pojok.
“Teett… teett… .” Bel berbunyi waktunya berganti pelajaran Agama. Pelajaran Agama adalah kesukaanku, bukan karena aku sok alim tapi karena banyak tersisa waktu buat tidur- tiduran, melamun, ngobrol sendiri dan sebagainya. Kali ini pelajaran Agama memuat tema pemandian jenazah, aku tak tertarik sedikitpun.
Saat aku terbang dalam lamunan, guruku memanggil dan mengemukakan suatu pertanyaan, dan aku menjawabnya secara spontan.
“Mbak yang di pojok… bagaimana do’a memandikan jenazah?” Tanya guruku pak Fattah.
“Apa pak? Anu di mandiin, dikafanin, disolatin, baru di kubur pak!” Jawabku spontan. Serentak teman- teman menertawakanku, aku masih belum sadar akan kesalahanku.
“Saya tidak menanyakan tentang cara memperlakukan jenazah, tapi do’a memandikan jenazah! Makanya kalau di kelas jangan melamun. Ayo duduk di barisan depan! Di belakang banyak setannya!” Sentaknya.
“Baik pak!” Jawabku singkat sambil menenteng tasku ke depan. Aku memperhatikan seluruh jam pelajaran yang tersisa dengan terpaksa. Aku merasa menjadi anak paling bodoh di kelas. Aku berusaha untuk menjawab pertanyaan dari pak Fattah.
“Apa kalian tahu apa bedanya mati orang beriman dengan matinya orang kafir?” Pak Fatah memberi pertanyaan.
“Ah gampang! Saya pak!” Aku mengangkat tangan.
“Ya Ulfa!” Pak Fattah mempersilakan.
“Itu pak orang kafir kalo mati jenazahnya di rubung belatung, dikerubutin laron, gosong, keluar cacing dari mulutnya, pokoknya yang jorok- jorok deh!” Jawabku.
“Dasar! Kebanyakan nonton sinetron gak bermutu ya kayak gini! Sudah kamu diam dan perhatikan pelajaran bapak jangan sok tahu.” Sentaknya naik darah.
“Baik pak!” Jawabku lemas, aku diam seribu bahasa sepanjang pelajaran.
“Iqbal coba kamu jawab pertanyaan bapak tadi.” Kata pak Fattah.
“Kalo orang beriman meninggal dalam keadaan tenang, terlentang, mengucapkan kalimat La illa ha ilallah, biasanya menitih kan air mata.” Jawabnya percaya diri.
“Bagus!” Puji pak Fattah.
“Alah sok pinter!” Kataku dalam hati.
Pelajaran berakhir, waktunya pulang sekolah. Sungguh sangat kunanti, bagaikan terbebas dari penjara kolonial Belanda. Aku pulang bersama Widi, Atik dan Riski. Kami bertemu Doni di depan pintu gerbang sekolah, tak disangka ia memanggilku. Aku terkejut, apa yang akan ia bicarakan denganku.
“Ulfa aku mau bicara berdua saja!” Katanya.
“Kenapa? Kita bicara disini saja!’ Jawabku.
“Gak mau aku malu!” Jawab Doni.
“Ciee… so sweet jangan – jangan dia mau mengutarakan perasaannya sama kamu lagi!” Kata teman- teman menggodaku.
Aku pergi agak menjauh dari teman- teman dan berbicara berdua saja dengan Doni. Aku penasaran, kaget dan bingung dengan segalanya yang mungkin terjadi.
“Fah aku mau ngomong penting banget, kamu jangan marah ya!” Katanya.
“Ya ngomong aja, aku gak marah.” Jawabku.
“Anu… mau gak…”! Katanya
Jantungku berdebar- debar tak karuan, aku tak tahu harus menjawab apa. Tanganku dingin, dan gemetar. Ku dengarkan semua perkataannya suku demi suku.
“Mau gak… pinjemin aku uang lima puluh ribu aja, aku mau ngasih hadiah cewekku tapi ga ada duit, mau ya… aku udah ga tau lagi mau pinjem ma siapa, setauku cuma kamu sahabat terbaikku.” Katanya malu- malu.
“Astaghfirullah kirain mau nyatain perasaan buat aku. Jadi ill fill kalo gini.” Kataku dalam hati.
“Ya nih tapi kembaliin minggu depan ya…!” Kataku sambil melangkah meninggalkannya menuju teman- temanku yang sudah menunggu berharap- harap cemas. Baru satu meter aku meninggalkan Doni, Atik berlari mendekatiku sambil berbisik penuh Tanya.
“Gimana kamu terima..? Tanya Atik penasaran.
“Gak aku tolak!” Jawabku.
“Lo kok gitu katanya dulu naksir?” Tanya Widi.
“Itu dulu, kalo sekarang enggak!” Jawabku melayani mereka.
Teman- teman tidak tahu yang sesungguhnya terjadi. Kami melanjutkan tujuan kami untuk pulang. Widi dan Riski masih penasaran dengan alasanku menolak Doni, aku hanya membalas pandangan mereka dengan senyum.
“Hari ini sangat melelahkan, sudah di marahi guru, di ejek Yoga, dipalak ma Doni lagi. Huhhhh…”Gumamku dalam hati. Apa lagi yang akan terjadi padaku nanti.



THE END

Nurul Fadilah/17/X5

No comments:

Post a Comment